Jumat, 16 Maret 2012

penegakan hukum di indonesia

Kondisi penegakan hukum di Indonesia belakangan ini dinilai buruk. Hal itu dipicu oleh lemahnya penegakan hukum seperti pada kasus dana talangan Bank Century, skandal Nazarudin, dan kasus Nunun Nurbaeti.
Menurut Direktur Eksekutif LSI Dodi Ambardi, Ph.D, penilaian buruk itu berdasarkan hasil survei yang dilakukan Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada pertengahan Desember 2011.
"Hampir sepanjang pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (2005-2011), baru kali ini lebih banyak rakyat menilai kondisi penegakan hukum secara umum buru," katanya dalam diskusi bertema "Korupsi dan tata kelola pemerintahan", di Jakarta, Minggu (8/1).
Selain itu, publik juga menilai kinerja pemerintahan dalam pemberantasan korupsi buruk atau sangat buruk, dengan proporsi di bawah 50 persen. Padahal, data longitudinal sejak 2005 sampai 2011 menunjukkan proporsi sikap positif publik senantiasa lebih besar dalam isu penanggulangan korupsi.
Dikatakan, penanggung jawab penurunan kepercayaan ini bukan hanya pemerintah, tetapi semua pihak yang secara langsung berkaitan dengan penegakan hukum, termasuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). "Karena apa yang dinilai buruk dalam demokrasi Indonesia berkaitan dengan tata kelola pemerintahan, terutama dalam penegakan hukum (rule of law), dan pengawasan terhadap korupsi," ujar Dodi.
Data Governance Indicator World Bank 2011 menunjukkan, dalam sepuluh tahun demokrasi Indonesia tidak mengalami kemajuan berarti dan masih tetap negatif. "Korupsi tinggi, kepastian hukum rendah, regulasi tidak berkualitas, dan inefisiensi penyelenggaraan negara. Jika ini terus berlanjut, kepercayaan publik terhadap penegakan hukum dan pemberantasan korupsi bisa semakin merosot," katanya.
Survei LSI tersebut mengambil sample sebanyak 1.220 responden dengan margin of error plus-minus 2,9 persen pada tingkat kepercayaan 95 persen. Responden diwawancara pada 8-17 Desember 2011.

Kesimpulan yang pasti dan harus disimak, untuk reformasi dalam menegakan hukum di Indonesia, tidak bisa diserahkan oknum penegak hukum yang ada ( jaksa, polisi maupun kpk dan sejenisnya ), karena ini semua warisan masa lalu yang sudah membudaya. Reformasi hokum harus dimulai dari mereformasi oknum. Oleh sebab itu kesimpulannya adalah :
1. Dibentuk lembaga hukum yang menjalankan hukum dengan baik, tanpa melibatkan pejabat yang ada saat ini. Benar-benar independent tidak ada kaitan dengan lembaga-lembaga saat ini.
2. Bagi mereka yang terpanggil, dan berani membongkar kasus yang bersangkutan dengan koneksi dan uang, harus dilindungi penuh.
3. Khususnya bagi mereka yang membongkar komunitas nya sendiri, harus dilindungi penuh, karena ia dianggap pengkhianat oleh komunitas, maka harus disingkirkan, karena ia membongkar teman-teman nya sendiri. Jika memang si pembongkar terlibat dalam kasus juga, ia akan dituntut sesuai hukum setelah seluruhnya terbongkar habis.
4. Untuk masa reformasi hukum, janganlah bicara yang tidak ada solusinya, karena solusi yang dikemukan saat ini di media hanya perlindungan diri demi kepentingan diri atau golongan. Karena ada kemungkinan yang berbicara itu, bisa terlibat dalam koneksi dan uang. Hanya saja masih memiliki kekuasan yang lebih leluasa untuk berbicara, dari pada yang sudah dibungkam dalam tahanan, lebih leluasa mempermainkan hukum demi menegakan hukum.
5. JIka penguasa saat ini ada niat kuat untuk memberantas korupsi dan markus, mereka harus berani mereformasi tanpa ragu-ragu, jangan lagi berdalih “ taat hukum “ , karena pelaksana hukum sudah tidak dipercaya lagi. Jika ini dilakukan penulis sangat yakin dukungan akan datang dari semua penjuru anak bangsa yang cinta kebenaran.
Semoga ada pejabat tinggi yang berwenang bisa membaca dan merenungkan dengan baik, mau melakukan sesuai hati nurani. Karena rakyat sudah sangat mendambakan kebenaran. Penderitaan rakyat yang sudah mencapai titik terendah, satu hari akan bangkit melawan, karena sudah tidak ada jalan lain lagi.

Jika dikaji dan ditelaah secara mendalam, setidaknya terdapat tujuh faktor penghambat penegakan hukum di Indonesia, ketujuh faktor tersebut yaitu, Pertama, lemahnya political will dan political action para pemimpin negara ini, untuk menjadi hukum sebagai panglima dalam penyelenggaraan pemerintahan. Dengan kata lain, supremasi hukum masih sebatas retorika dan jargon politik yang didengung-dengungkan pada saat kampanye. Kedua, peraturan perundang-undangan yang ada saat ini masih lebih merefleksikan kepentingan politik penguasa ketimbang kepentingan rakyat. Ketiga, rendahnya integritas moral, kredibilitas, profesionalitas dan kesadaran hukum aparat penegak hukum (Hakim, Jaksa, Polisi dan Advokat) dalam menegakkan hukum. Keempat, minimnya sarana dan prasana serta fasilitas yang mendukung kelancaran proses penegakan hukum. Kelima, tingkat kesadaran dan budaya hukum masyarakat yang masih rendah serta kurang respek terhadap hukum. Keenam, paradigma penegakan hukum masih positivis-legalistis yang lebih mengutamakan tercapainya keadilan formal (formal justice) daripada keadilan substansial (substantial justice). Ketujuh, kebijakan (policy) yang diambil oleh para pihak terkait (stakeholders) dalam mengatasi persoalan penegakan hukum masih bersifat parsial, tambal sulam, tidak komprehensif dan tersistematis. Mencermati berbagai problem yang menghambat proses penegakan hukum sebagaimana diuraikan di atas. Langkah dan strategi yang sangat mendesak (urgent) untuk dilakukan saat ini sebagai solusi terhadap persoalan tersebut ialah melakukan pembenahan dan penataan terhadap sistem hukum yang ada. Menurut Lawrence Meir Friedman di dalam suatu sistem hukum terdapat tiga unsur (three elements of legal system yaitu, struktur (structure), substansi (subtance) dan kultur hukum (legal culture).

sumber : http://www.pikiran-rakyat.com dan http://hukum.kompasiana.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar